Jumat, 08 Agustus 2014

Saat menjadi seorang Pemilih dengan kategori khusus



Beberapa hari ini aku mulai familiar dengan istilah-istilah DPT, DPTB, Pemilih Tambahan dll.  Semuanya terkait dengan hiruk pikuk PEMILU Presiden dan  tuntutan pasangan capres Probowo  Hatta yang diajukan ke MK.  Salah satu keberatannya adalah banyaknya pemilih tambahan pada TPS-TPS.  Di layar Berita Satu seorang saksi menyatakan adanya tambahan pemilih yang dahsyat di 3 TPS yang sudah dibongkar kotaknya.  Aku tidak begitu jelas apa kriteria  saksi tsb dengan kata “dahsyat”.   Seperti yang dia katakan adanya tambahan 200 orang di TPS sebuah rumah sakit? Apakah itu angka yang berlebihan sehingga memacu kecurigaan adanya kecurangan?  Atau sebenarnya merupakan kesalahan administrasi karena kurangnya pengetahuan semua pihak?

Aku merefer lagi kepada pengalamanku melakukan pemilihan dengan tidak biasa.  Mungkin sebutannya adalah DPT yang melakukan pemilihan di tempat lain tanpa mendaftar terlebih dahulu.  Nah, itu masuk kategori manakah? DPTB, pemilih tambahan atau apa?  Yang pasti aku saat itu tidak memahami semua istilah Pemilu.  Aku hanya ingin menjadi warga Negara yang baik dan turut serta memilih calon pemimpin bangsa. 

1 July 2014
Jakarta
Memeriksa website KJRI New York untuk memastikan tanggal dilakukannya pencoblosan.  Ada!. Dilakukan lebih dini di tgl 5 July.   Anakku sangat senang karena ini akan menjadi momen pertamanya melakukan pemilihan umum.
Memeriksa lagi persyaratannya : bagi yang tidak terdaftar, dapat  hanya membawa passport . Oke. Simple. 
Saat itu suamiku mengatakan, harusnya minta surat dari panitia sini untuk pengantar.  Aku mengatakan tidak perlu, karena di website menyatakan cukup dengan membawa passport. 

4 July 2014
New York
Sekali lagi aku mengecek website KJRI, untuk memastikan jam, tanggal dan tempatnya.  Masih sama.  Tgl 5,  untuk pemilih tambahan datang pada jam tertentu  Aku lupa tepatnya, tetapi perkiraanku adalah setelah semua pemilih terdaftar melakukan penjoblosan.  Sudah terbayang tempatnya Tidak jauh dari  Central Park.

5 July 2014
KJRI New York


Rombonganku (berenam : 4 Pemilih & 2 pengantar) tiba di KJRI.  Ternyata masih ada antrian panjang.  Untuk yang baru datang harus mendaftar ke ruang bawah.  Disana ada petugas  PPLN yang melakukan pendaftaran.  Lumayan penuh di ruang bawah itu.  Tampak beberapa orang sedang berdebat dengan sang petugas.  Lalu selanjutnya aku memberikan passportku.  Dia menanyakan formulir  A5, yaitu formulir yang  merupakan formulir pindah penjoblosan dan ditandatangani oleh panitia di tempat terdaftar awal.  Tentu saja aku tidak punya. Karena memang tidak aku urus.  Website KJRI itu mengatakan passport saja. Wahhh miskom.  Jadi tidak bisa mencoblos?  PPLN dengan tegas mengatakan : TIDAK BISA!
Anakku terlihat sangat kecewa.  Akupun.  Karena momen ini kan sudah direncanakan jauh-jauh hari. Informasi yang menyesatkan itu, menyebabkan peristiwa penting itu tidak akan dijalani. 

Belum habis keherananku, berdatangan beberapa orang lagi dengan kasus yang sama.  Ternyata bukan aku saja!.  Semakin sore semakin banyak orang bernasib serupa, mereka datang sesuai dengan persyaratan jam pencoblosan bagi pemilih tambahan.  Jadi semakin seru. Karena semakin banyak orang, semakin keras kita melakukan protes.  Ini kan hak warga Negara. 
Aku sempat bertanya pada beberapa orang : kenapa sih sekarang ngotot melakukan penjoblosan?  Jawabnya hampir sama : “Tahun ini harus. Karena sekarang berbeda. Saatnya menentukan orang yang benar untuk memimpin Negara kita”.   Jadi berduyun-duyunlah pemilih tambahan itu datang.

Mengapa tidak bisa menjoblos?
Karena tidak ada formulir A5.
Ditakutkan akan bisa dimanipulir dengan melakukan pencoblosan ganda. Setelah dari NYC bisa mencoblos lagi di tempat asal. 

Tentu saja kami memahami alasan  itu. Tetapi pasti ada jalan keluarnya.  Kita kan bukan orang-orang yang bisa dibayar untuk kebutuhan politik tengil
Caranya misalnya dengan memberikan copy KTP, lihat DPT di web KPU, sampai memberikan tiket pesawat kepulangan. 

PPLN mengatakan hanya bisa, jika form A5nya diurus saat ini juga. 
Tentunya tidak mungkin juga,  karena sekarang minggu dini hari waktu Indonesia. Susah   mencari para panitia daerah masing-masing untuk minta dibuatkan A5.

Jadi,  tetap ditolak dengan keras oleh PPLN
Hingga  beberapa calon pemilih naik pitam.


Akhirnya perwakilan calon pemilih meminta untuk disambungkan  dengan KPU Pusat guna meminta kebijakan.

Proses bolak balik ngotot ini sekitar 3 jam lebih.  Hingga berhasil mengajukan solusi yang menurutku dapat dipertanggung jawabkan :
  1. Lihat di daftar KPU, apakah ada namanya disana
  2. Serahkan fotocopy KTP
  3. Tulis TPS asal
Diharapkan dokumen2 ini akan menjadi bahan cross check yang berharga pada saat diperlukan. 

Oke. Deal.  Dengan tambahan persyaratan selama kertas suara masih tersedia.  Cukup adil.  Semua menerima. Keadaan menjadi tenang. 

Masalah lain ternyata di daftar KPU nama anakku tidak muncul.  Dia sedih sekali. Aku bilang, coba saja tetap mendaftar memilih. Toh usianya sudah 17 tahun.  Harusnya datanya sudah tercantum di KPU (tapi seingatku aku belum pernah mendaftarkannya. Aku pikir itu akan berlaku secara otomatis saat membuat E KTP). 
But anyway, anakku itu berhasil untuk mencoblos.  Kami semuapun berhasil. Dan kami merasa sangat lega karena sudah mampu memberikan suara kami untuk kepentingan Negara.



Dari peristiwa ini,  aku ingin memberikan gambaran :
  1. bahwa ada pertambahan jumlah pemilih yang cukup banyak. Tetapi ini bukan rekayasa. 
  2. bahwa  KPU dan PPLN sangat disiplin dengan peraturannya.  Namun karena desakan lapangan yang keras dan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, maka mereka dapat mengabulkan permintaan untuk pengecualian. 
Peristiwa yang sama juga berlangsung di Los Angeles.  Mungkin saking banyaknya peminat, surat suaranya sampai tidak mencukupi. 
Jadi pertambahan ini  bukan sebuah kecurangan yang massive, tetapi karena timbulnya niat memilih yang tiba-tiba menjadi tinggi. 

Kembali ke persidangan MK saat ini, aku tidak berkeinginan untuk memihak .
Tapi di televisi itu, saksi  lebih banyak berasumsi sendiri dengan bahasa-bahasa yang bombastis.  

Yang terakhir, saat kembali ke Jakarta, ternyata di meja tamu tergeletak  3 surat undangan untuk  DPT.  Salah satunya adalah untuk anakku.  Yang ini pasti juga bukan kecurangan, tetapi kegagalan sistem update data peserta pemilu.  Salah satu kelemahan dari keseluruhan sistem pencatatan. 



Catatan ini hanya sebagai  tanggapan pribadi atas apa yang tersaji di layar televisi atau media lainnya perihal kata2 : KECURANGAN PEMILU.  







Tidak ada komentar:

Posting Komentar