Menurut definisinya, kenangan adalah sesuatu yang membekas.
Bisa berupa kenangan indah atau kenangan pahit.
Dalam pikiranku, kenangan itu tidak melulu berupa
visualisasi gambar dalam benak. Tapi
bisa juga berupa rasa, bau atau apapun yang berkaitan dengan indra
manusia.
Minggu, 4 Agustus 2014
adalah saat aku melintasi jalan Gandawijaya Cimahi.
Sangat jarang melalui jalan ini sekarang.
Karena aku memang tidak kerap ke Cimahi.
Namun jalan ini adalah jalan kenangan saat kecil
Ada visualisasi ayam kuning kurus yang digantung di
gerobak-gerobak pinggir jalan pada malam hari.
Membuat Gandawijaya terasa sempit untuk dilalui kendaraan.
Atau toko barang pecah belah yang selalu ramai karena
merupakan pusat pembelian barang hadiah kawinan. Mungkin para pengantin sesudahnya akan
menjual hadiah2 tsb pada toko yang sama.
Masih adakah fisik
kenangan itu ?
Ayam kuning tidak tampak,
karena aku melalui jalan ini di siang hari.
Toko pecah belah itu, aku sudah lupa namanya. Mungkin masih terselip diantara toko-toko
baru. Tapi apakah masih bertahan dengan
kebiasaan baru pengantin yg memohon undangan untuk memberikan kado “mentahan”.
Mencapai pertengahan jalan, ada yang menggugah.
Diujung gang, masih terpampang satu tulisan
besar “EKA SARI”
Wahhhh … nama itu
beberapa kali muncul dalam percakapanku dengan seorang teman dekat.
Kita suka berandai-andai untuk makan disana
lagi.
Langsung visualisasinya terpampang dalam benak : Ayam goreng mentega,
puyunghai, capcay … Hmmm …
menu2 China klasik.
Diikuti dengan kenangan rasa .. masih sangat jelas dalam
ingatan
Lalu hadir lagi saat-saat bersama bapak, ibu, adik2, makan di
restoran kecil memanjang itu. Berapa
puluh tahun lalu yaaaa …
Semoga signage sederhana itu menandakan bahwa EKA SARI masih
ada.
Pulang dari pertemuan dengan teman-teman lama, aku langsung
mengarahkan tujuan ke gang kecil dekat gandawijaya itu. Sambil berharap EKA SARI masih eksis, dan tidak
tutup pada sore ini.
Ternyata terkabul!
Masih beroperasi dengan ruang yang lebih luas dan pemilik
yang sama.
Wahhhh amazing …
Pesanan tentu saja langsung diorderkan : 3 menu itu.
Cukup lama juga sih penantian akan makanannya.
(kalau di resto sendiri pasti aku sudah ke dapur dan bertanya kenapaaaaa lama).
(kalau di resto sendiri pasti aku sudah ke dapur dan bertanya kenapaaaaa lama).
Dan ternyata yang keluar adalah porsi yang besar-besar. Sampai melongo … hahahaha.
Bagaimana makannya yaaa …
Ahh yang penting sudah mencicipi lagi. Sisanya bisa dibawa pulang.
Rasa ayam menteganya masih sama hahahhaa.
Dulu kita menganggap ini luarbiasa.
Tetapi karena sekarang sudah banyak pilihan makanan dan punya warung sendiri, maka sudah bisa mengkritik soal tekstur dan rasa.
Tetapi karena sekarang sudah banyak pilihan makanan dan punya warung sendiri, maka sudah bisa mengkritik soal tekstur dan rasa.
Garing, namun terlalu keras.
Warnanya juga tidak cantik. Cenderung hitam.
Tapi aku sukaaaa …
Ini bukan sekedar hal enaknya ayam mentega.
Ini adalah sebuah pengalaman masuk dalam sang KENANGAN.
Ini adalah sebuah pengalaman masuk dalam sang KENANGAN.
Puyunghai ada 4 potongan besar. Tak berubah.
Lebih enak daripada puyunghai joglo yang terakhir aku
beli.
Capcaynya tidak aku coba,
dibawa pulang untuk Ibu sahabatku.
Dan saat dibuka dirumah, isinya memenuhi setengah panci
ukuran sedang. Hihihi.
Total pembeliannya 175 ribu.
Bukan makanan yang murah juga.
Tapi porsinya memang besar.
Dan aku sangat senang berhasil memuwujudkan cita-cita
percakapan andai-andai.
Terakhir, mengirimkan
foto2 makanan itu ke adikku di Denver.
Lalu responnya adalah : MAUUUUUU …
masih inget rasanya!
Wahhh kuat sekali kan kenangan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar