Rabu, 27 November 2013

MOGOKNYA DOKTER dan PENGALAMAN MELAHIRKAN

Pagi hari ini, pemberitaan di televisi perihal mogoknya dokter-dokter kandungan.
Sebuah bentuk solidaritas dokter-dokter,
dengan pesan : stop kriminalisasi atas profesi dokter.

Aku tidak membahas kasus dr Ayu ini.
karena ingatanku lebih tertarik  kepada pengalaman saat mengandung dan melahirkan anak pertama.
Dan itu terkait dengan dokter kandungan.

Pemilihan dokter kandunganku berdasarkan referensi dari teman-teman
"Dokter ini aja. Dia bagus. Banyak pasiennya"
Umumnya teman-teman memberikan nama dokter yang sama.
Ada 3 nama dokter kandungan top saat itu.
Aku memilih salah satunya, yang berpraktek di klinik sendiri.

Bukan hal yang mudah ternyata.
Resiko memilih dokter terkenal adalah antrian panjang saat memeriksa kandungan.
Namun aku jalani dengan senang.
Karena aku ingin memberikan perawatan yang terbaik bagi anakku sejak di kandungan

Dokternya ramah. Pemusik.
Pemerikasaan yang baik.
Untuk proses melahirkan,
aku memilih rumah sakit di Jakarta Selatan yang saat itu menurut orang2 paling "top".
Karena semua data kesehatanku ada disitu.

Dan tibalah masanya tanggal2 untuk melahirkan
tetapi aku tidak merasakan kontraksi sama sekali
Aku tidak terlalu ingat, apakah aku mendapatkan suntikan untuk memberikan kontraksi,
yang terlintas sekarang adalah aku  di rumah sakit, menjalani pemerikasaan, lalu setelah penanganan diistirahatkan menunggu kontraksi.
Si perasaan sakit itu ternyata tidak kunjung datang.  Akhirnya dokter memutuskan untuk melakukan caesar sore itu juga.  Aku dan suamiku cukup kaget juga.  Karena tidak mengira bahwa hari itu akan merupakan hari kelahiran anak pertama kami.

Selanjutnya aku dikirimkan ke ruang OKA
setelah proses persiapan dll,  aku harus menjalani bius lokal
dipersiapkan dipunggung belakang
Dokter anestesinya datang agak terlambat
dia cerita kepada para suster  baru saja terjadi tabrakan.  aku sendiri tidak mendengarkan dengan seksama.  Hanya dalam hati berkata  : "wah kacau nih"
Semua persiapan telah selesai.  sekarang menunggu dokter kandungannya.
Rasanya lama. aku sendiri tidak tahu pasti berapa lamanya, karena tidak ada jam.
Suster mengatakan dokter sedang menolong pasien lain.
Tetapi waktu penantian ini memang lama,  karena ternyata suamiku juga menanyakan dari luar,  kok belum keluar-keluar.  Lahhh belum  juga dilakukan proses cesarnya.

Hingga akhirnya dokternya datang.
Dia menanyakan sudah berapa lama waktu anestesinya
Tidak ada yang menjawab.
perutku mulai diraba. tidak ada rasa sepertinya. aku lupa
lalu mulai dilakukan pembedahan.
proses pertama aku mendengarkan percakapan
tetapi tidak berapa lama kemudian aku merasakan keperihan yang luar biasa.
ternyata biusnya sudah tidak berfungsi sempurna! aku merasakan pisau bedah membelah perut bawahku. Spontan  aku menjerit : "Sakitttt !!!!"
Terjadilah sedikit kepanikan.
"wah kok berasa?"
lalu dokter memberikan perintah2 dalam istilah kedokteran yang tak kupahami
mereka menyuntikan sesuatu pada selang.
Aku tidak sadarkan diri.

Selanjutnya aku merasa ditarik  masuk kedalam  tunnel
Lalu aku merasa  melihat wajah suamiku ibuku, semua orang,
berputar-putar. mungkin itu saat akan siuman.
Ternyata tadi aku dibius total.
Mungkin karena bius lokal yang tidak sempurna,  atau  masa biusnya sudah menurun,
karena terlalu lama  menunggu dokter kandungan datang.
Hingga kini aku tidak mendapat jawaban pasti.
Walaupun kita mengetahui akibatnya jika aku tidak kuat dibius total, aku dan keluargaku  tidak melakukan tuntutan apa-apa.
Masa itu belum populer melakukan tuntutan pada dokter atau rumah sakit.
Lagipula memang kita sudah mensyukuri bahwa aku dan anakku selamat.

Namun ternyata kejadian tak kebal saat pembedahan menimbulkan trauma mendalam.
Sehingga aku memutuskan tidak lagi mau memiliki anak kedua.
Saat mengetahui aku hamil diluar rencana, aku menangis.
Karena tiba2 rasa pedih pada bagian bawah perut itu timbul kembali.  Ada dalam otak.
Jalan keluarnya,  aku mencari dokter yang tidak memiliki pasien dengan daftar tunggu banyak.
Pemikiranku,  dokter ini akan lebih konsentrasi dan tidak terganggu dengan kelahiran anak lain.
Aku menceritakan pengalaman mengerikan itu kepada si dokter,  dengan harapan dia memahami dan tidak lagi terulang peristiwa yang sama.  Dokter menenangkan. Dia berjanji akan memberikan pengalaman yang baik saat melahirkan.

Pada anak kedua ini,  ternyata aku tidak bisa lagi merasakan kontraksi walaupun sudah lewat waktu melahirkan.
Dokter tidak lagi memberikan obat perangsang kontraksi, tetapi memutuskan tanggal berapa untuk melakukan caesar.
Masih di rumah sakit yang sama.
Saat memasuki OKA aku merasakan kegelisahan yang luar biasa.  Rasanya aku mau turun dari tempat tidur  dan lari keluar. Dokter anestesinya baik.  Mencoba menenangkan.  Aku lupa apakah aku diepidural juga saat itu.  Tetapi pada saat akan dilakukan pembedahan, dokter memintaku berhitung, hingga akhirnya aku terlelap.  Kali ini aku bisa sadarkan diri dengan mulus.  Tidak lagi tertarik pada tunnel atau wajah2 seperti dulu.

Dengan pembiusan total,   aku tidak melihat dua anakku saat mereka baru saja dikeluarkan dari perut.

Sekarang dua anak itu sudah bertumbuh menjadi remaja.  Namun rasa trauma akan pembiusan dan bedah masih saja sulit kuhilangkan.
Aku bisa merasa sangat lemas, ketika dokter gigi mengatakan akan melakukan pembiusan lokal
Demikian juga ada kepanikan saat akan dilakukan pembiusan untuk melakukan colonoscospy.
aku berontak terus hingga berteriak-teriak walaupun sudah dibius total.  Dokter akhirnya menghentikan proses itu, karena bibirku sudah membiru.

Trauma ini memang berkepanjangan.  Aku mencoba untuk dapat mengatasinya. Terakhir aku menjalani bedah mulut dengan bius lokal.   Aku sempat merasa stres dan diare saat dipanggil masuk ke ruang dokter.  Tetapi aku dapat melaluinya dengan baik.

Sharing cerita ini bukan untuk menghakimi dokter kandungan dan anestesi yang sudah membantu kelahiran anak pertamaku.  Tetapi ingin mengingatkan pula kepada para dokter,  bahwa peristiwa seperti ini dapat terjadi. Bagi mereka mungkin cerita tentang si pasien A selesai, saat tugas itu selesai.  Namun bagi si pasien ternyata membawa trauma berkepanjangan.  Rutinitas pekerjaan seringkali membuat kita mengampangkan pekerjaan itu sendiri.  Padahal bagi si pasien, ini adalah pengalaman pertama yang menuntut ketelatenan dan perhatian yang maksimal.

Terkait peristiwa dr Ayu,  semoga para dokter lebih berhati-hati.  Demikian juga dengan pihak rumah sakit.  Karena pekerjaan dan bisnis mereka berujung pada nyawa seseorang.
































Tidak ada komentar:

Posting Komentar